Entertainment
Siap Debut di Cannes! Kristen Stewart Akhirnya Sutradarai Film Impiannya 'The Chronology of Water'
JAKARTA, KUCANTIK.COM - Cantiks, pernah nggak sih kamu nungguin sesuatu begitu lama, sampai rasanya kayak napas tertahan bertahun-tahun? Itu yang dirasakan Kristen Stewart.
Setelah delapan tahun penuh perjuangan, akhirnya dia menyelesaikan film pertamanya sebagai sutradara, berjudul “The Chronology of Water”. Dan yes, film ini bakal tayang perdana di Festival Film Cannes 2025!
“Aku bisa aja nangis sekarang,” ujar Stewart lewat sambungan telepon, dikutip dari Vanity Fair pada Selasa, (13/5), di hari yang sama ia sedang merampungkan sentuhan akhir filmnya.
“Maaf ya, aku datang dengan energi yang meledak-ledak.” lanjutnya. Dan memang, Kristen Stewart yang kita temui hari itu adalah versi dirinya yang paling jujur, penuh emosi, tanpa filter, dan begitu mencintai apa yang ia kerjakan.
Cantiks pasti tahu dong, Stewart bukan nama baru di dunia film. Dari bintang “Twilight” sampai aktris indie Eropa langganan sutradara besar seperti Olivier Assayas dan Pablo Larraín. Tapi kali ini, dia berdiri di belakang kamera, membawa energi yang lebih liar dan emosional lewat adaptasi memoir Lidia Yuknavitch yang juga berjudul The Chronology of Water.
“Film ini tentang menulis, memproses luka, dan merebut kembali cerita hidup kita, bahkan yang paling kelam sekalipun,” kata Stewart.
Memoar Yuknavitch bercerita tentang trauma masa kecil, alkoholisme, dan kekuatan penyembuhan lewat tulisan. Dan bagi Stewart, buku itu seperti kitab suci yang langsung menyala dalam dirinya.
Film ini dibintangi Imogen Poots sebagai Lidia, dan menurut Stewart, penampilannya bikin takjub. Film ini hadir dengan editing cepat dan desain suara yang intens, menciptakan sensasi yang hampir seperti kita sendiri yang menghidupi luka-luka itu.
Menariknya, proyek ini sempat sulit didanai. Materi ceritanya berat, penuh perspektif perempuan tentang tubuh, kemarahan, rasa malu, dan penyembuhan. Tapi Stewart nggak pernah mundur. “Perempuan dalam film ini babak belur. Film ini juga sempat babak belur. Jadi ini jadi sangat meta,” tuturnya.
Cantiks, Stewart sebenarnya sudah ‘naksir’ buku ini sejak 2017 waktu dia syuting “JT LeRoy.” Begitu selesai baca, dia langsung kontak Yuknavitch, bahkan terbang ke Portland cuma buat meyakinkan sang penulis kalau dialah orang yang tepat untuk menghidupkan kisah ini di layar lebar.
“Aku sampe bilang, ‘Kamu mau teh? Bir? Martini? Pelukan berapa kali nih?’ Tapi ternyata dari awal semuanya udah terasa cocok," jelasnya.
Proses penulisan naskahnya pun bukan main. Dia mencoba memuat semua emosi, tema berat seperti pelecehan seksual, kecanduan, hubungan queer, hingga kehilangan anak. Intinya, proses menyuarakan diri lewat tubuh dan luka.
“Dan itu nggak gampang di zaman sekarang, apalagi buat perempuan," tegas Stewart.
Film ini syuting selama 32 hari, sebagian besar di Latvia dan Malta, pakai kamera 16mm biar kesannya mentah dan emosional. Stewart memilih kru yang mostly fresh dan belum terlalu ‘terbiasa’ dengan aturan industri. Karena dia pengen film ini terasa seperti remaja yang meledak-ledak, urgent, jujur, dan jauh dari kata “pintar berlebihan.”
Walau ini debut pertamanya, Stewart mengaku nggak takut filmnya akan ditonton di Cannes, festival yang terkenal keras dan bisa ‘boo’ film di tengah pemutaran.
“Apapun hasilnya, aku cinta banget sama film ini,” katanya mantap.
Cantiks, siap-siap ya! Kalau kamu suka karya yang mentah, emosional, dan berani, kayaknya kamu harus masukin “The Chronology of Water” ke watchlist kamu tahun ini.