News
Impelementasi Ekonomi Kerakyatan Maih Jauh dari Harapan
JAKARTA - Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosamengatakan sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) telah lama menjadi amanat konstitusi, namun implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.
“Perencanaan pembangunan mestinya didasarkan pada amanat konstitusi dalam perekonomian, yaitu realisasi demokrasi ekonomi.Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis semakin mendominasi struktur ekonomi Indonesia,” katanya, Kamis (10/7), menanggapi program Trisula yang dicanangkan pemerintah.
Ia mengatakan sampai saat ini pemerintah belum punya instrumen spesifik untuk mengukur sejauh mana derajat realisasi demokrasi ekonomi, sehingga persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan belum sepenuhnya dapat diatasi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy menegaskan bahwa pembangunan nasional harus merata, sehingga kemakmuran harus merata dari barat hingga timur Indonesia.
Menurut dia, fondasi kemakmuran Indonesia dimulai dari daerah, sehingga penting untuk mengacu pendekatan perencanaan pembangunan yang sadar, inklusif, dan terintegrasi.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 mengusung Trisula Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan sumber daya manusia berkualitas.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Dwijono Hadi Darwanto, menegaskan bahwa arah pembangunan nasional yang berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa menjadikan desa sebagai titik pangkal transformasi struktural.
“Kalau kita bicara pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan kemiskinan, maka desa bukan sekadar objek pembangunan, tetapi subjek yang harus diperkuat secara sistematis,” kata Dwijono di Yogyakarta, Jumat (10/7).
Menurut dia, fondasi kemakmuran Indonesia memang terletak pada wilayah-wilayah perdesaan, terutama karena desa menjadi penyangga ketahanan pangan nasional dan sumber daya manusia jangka panjang. Namun hingga kini, porsi belanja publik dan insentif investasi di desa masih belum cukup progresif untuk mengatasi ketimpangan yang telah berlangsung secara historis.
“Trisula pembangunan yang disebut Pak Menteri, yakni pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, dan peningkatan SDM akan tumpul kalau tidak dimulai dari desa. Karena kemiskinan itu terkonsentrasi di pedesaan. SDM kita yang paling rentan juga mayoritas lahir di desa,” kata Dwijono.
Dwijono juga menegaskan pentingnya menjadikan desa sebagai ruang produksi baru yang ditopang oleh infrastruktur digital, energi terbarukan, dan sistem pasar yang adil.
“Kita perlu keluar dari paradigma lama di mana desa hanya diposisikan sebagai penerima bantuan. Desa harus dibangun sebagai pusat pertumbuhan baru,” tegasnya.
Ia mengusulkan agar dalam RPJMN 2025-2029, pemerintah pusat menetapkan indikator kunci yang secara eksplisit mengukur transformasi desa, dari produktivitas pertanian dan agroindustri, ketersambungan pasar, hingga keberlanjutan ekologi.
“Kalau kita ingin kemakmuran merata dari barat sampai timur seperti dikatakan Pak Menteri, maka desa harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pelengkap narasi nasional,” tutup Dwijono.