Health

Kamis, 05 Jun 2025, 17:36 WIB

Hati-Hati! Tren 'Skinny Tok' di TikTok Bisa Merusak Kesehatan Mental dan Fisik

Hati-Hati! Tren 'Skinny Tok' di TikTok Bisa Merusak Kesehatan Mental dan Fisik

Doc: Parents

JAKARTA, KUCANTIK.COM - Cantiks, kalau kamu sering scrolling TikTok, pasti nggak asing dengan tren "Skinny Tok" yang lagi viral banget, kan?

Tren ini mempromosikan diet ekstrem dengan cara menghubungkan tubuh ramping dengan kesehatan yang sempurna. Tapi, jangan terkecoh ya, Cantiks! Meskipun terdengar seperti gaya hidup sehat, ternyata Skinny Tok justru bisa berbahaya banget buat kesehatan tubuh dan mental kita.

Apa itu Skinny Tok?
"Skinny Tok" adalah sudut gelap TikTok yang mempopulerkan penurunan berat badan secara ekstrem, dengan para pengikutnya berbagi tips yang katanya bisa bikin tubuh jadi super ramping.

Salah satu influencer yang mempopulerkan tren ini adalah Liv Schmidt, seorang Gen Z yang jadi terkenal dengan video "skinny girl hacks"-nya.

Video-video seperti What I Eat in a Day yang ia bagikan, menunjukkan konsumsi kalori yang sangat rendah, yang langsung memicu kekhawatiran para ahli tentang potensi gangguan makan yang dapat timbul.

Setelah sempat diblokir oleh TikTok pada 2024 karena melanggar pedoman komunitas, Schmidt kembali dengan akun baru dan tren ini pun nggak berhenti begitu saja. Bahkan, hashtag #skinnytok sudah mencapai lebih dari 74.000 video yang beredar, di mana banyak video menampilkan cek tubuh berulang, menunjukkan perubahan tubuh yang semakin kurus.

Kenapa Tren Ini Berbahaya?
Menurut ahli diet terdaftar Emily Van Eck, Skinny Tok adalah pendekatan yang berbahaya dan ekstrem terhadap penurunan berat badan. Ia menjelaskan bahwa mengagungkan tubuh ramping sebagai simbol kesehatan atau kedisiplinan justru merusak kesehatan fisik dan mental kita.

“Diet ekstrem adalah faktor risiko besar untuk gangguan makan, terutama jika dimulai sejak usia muda. Karena banyak video ini menampilkan remaja dan dewasa muda, tren ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Van Eck, dilansir dari Healthline, Rabu, (4/5).

Lindsie Meek, pendiri HumanMend, sebuah praktik psikoterapi gangguan makan di New York, menambahkan bahwa tren ini memperkuat budaya diet yang merusak, merayakan tubuh super kurus, dan mempromosikan standar tubuh yang tidak realistis.

 “Konten What I Eat in a Day ini sangat berbahaya karena menganggap semua tubuh punya kebutuhan nutrisi yang sama,” jelasnya.

Beberapa influencer yang mendukung tren ini bahkan berbagi pola makan dengan kalori yang sangat rendah—seperti hanya 800 kalori per hari. Menurut Van Eck, ini hampir mustahil untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh kita.

“Defisiensi zat besi, B12, dan kalsium sering terjadi, yang bisa menyebabkan kelelahan, suasana hati rendah, gangguan tidur, hingga kehilangan massa otot. Dalam jangka panjang, tubuh yang kurang gizi bisa mengalami disfungsi imun, amenore hipotalamus (yang dapat menyebabkan infertilitas), dan kerusakan tulang,” ungkapnya.

Dari sisi kesehatan mental, Meek menambahkan bahwa diet ekstrem bisa menyebabkan fluktuasi mood yang berlebihan dan pikiran obsesif tentang makanan dan tubuh.

“Banyak video ini memposisikan penurunan berat badan dan tubuh ramping sebagai tanda kesehatan terbaik, yang sebenarnya sangat menyesatkan,” kata Meek. 

Perbedaan antara Diet Sehat dan Gangguan Makan
Tidak semua usaha penurunan berat badan itu buruk, lho. Ada cara-cara yang sehat dan berkelanjutan untuk mencapai berat badan ideal. Namun, dengan banyaknya informasi yang beredar di internet, bisa jadi sulit untuk membedakan antara cara yang membantu atau yang malah berbahaya.

Van Eck menyebutkan bahwa garis antara penurunan berat badan yang disengaja dan gangguan makan bisa sangat tipis, terutama di dunia maya, di mana perilaku ekstrem seringkali dibingkai sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan mendapat perhatian besar karena sifatnya yang provokatif.

Menurut Van Eck, perubahan perilaku yang mendukung kesehatan itu harus terasa seperti bagian dari rutinitas perawatan diri yang lebih luas. “Itu fleksibel dan berakar pada pemenuhan kebutuhan tubuh, bukan rasa takut atau hukuman,” jelasnya.

Sebaliknya, gangguan makan sering kali ditandai dengan aturan makanan yang kaku, rasa bersalah setelah makan, dan kontrol obsesif terhadap makanan dan tubuh.

“Jika seseorang merasa cemas saat menyimpang dari rencana, melewatkan makan untuk 'menghargai' makanan, atau selalu memikirkan makanan dan tubuh mereka, itu adalah tanda gangguan makan,” jelas Van Eck.


Meskipun saat ini kita sudah lebih sadar dengan gerakan body positivity, budaya mainstream masih sering menghubungkan tubuh ramping dengan kesehatan. Namun, menurut Van Eck, definisi berat badan sehat sering kali problematik, karena metrik seperti BMI sangat terbatas dan nggak bisa mengakomodasi variasi alami tubuh masing-masing.

“Berat badan sehat sebenarnya adalah rentang berat yang secara alami dicapai tubuh kita saat kita makan dengan cukup, bergerak dengan cara yang menyenangkan, dan tidak terjebak dalam siklus pembatasan yang merusak,” jelas Van Eck.

Ada banyak cara berkelanjutan dan berbasis bukti untuk mencapai berat badan yang sehat, dan yang paling penting adalah fokus pada perilaku, bukan angka di timbangan. Itu termasuk makan dengan seimbang, mendengarkan isyarat lapar, mencari aktivitas fisik yang menyenangkan, dan menjaga kesehatan tidur, stres, dan emosional.

Jadi, jangan terjebak dengan tren diet yang ekstrem, ya Cantiks! Kesehatan sejati itu bukan soal ukuran tubuh, melainkan bagaimana kita merawat tubuh dan pikiran kita dengan penuh kasih.

Beri komentar, dan mulailah diskusi bersama kami
Tulisan Lainnya dari Nayla Shabrina
ARTIKEL TERKAIT