Lifestyle
Capek Jadi Produktif? Gaya Hidup Slow Living Jadi Jawaban Lawan Burnout!
JAKARTA, KUCANTIK.COM - Sibuk itu dulu keren. Sekarang, rebahan sambil nonton burung di taman bisa jadi impian banyak orang.
Fenomena slow living—hidup lambat dan mindful—kian ramai dibicarakan, terutama oleh generasi yang sudah muak dengan hustle culture dan tekanan untuk terus produktif.
Emma Gannon, penulis dan podcaster asal Inggris, merasakan sendiri titik nadir dari gaya hidup “cewek ambisius” yang terus bekerja tanpa henti. Di tahun 2022, tubuhnya menyerah. Bukan hanya stres atau lelah biasa, dia benar-benar tidak bisa melihat layar, berjalan di jalanan, atau bahkan berpikir jernih.
“Rasanya kayak badan nge-shutdown. Enggak bisa dipaksain lagi,” kata Gannon, dikutip dari BBC pada Selasa, (29/4).
Dari situlah lahir bukunya A Year of Nothing, kisah tentang satu tahun penuh... doing nothing.
Bukan sekadar cuti, Gannon memutuskan untuk benar-benar berhenti. Tak ada email, tak ada proyek ambisius. Ia menghabiskan waktunya dengan menonton acara TV anak-anak, berenang di air dingin, mencatat perasaan di jurnal, dan ya, mengamati burung. Kedengarannya sederhana, bahkan klise. Tapi dari situlah dia pulih.
Gannon bukan satu-satunya. Gerakan slow living kini menjamur di media sosial. Tagar #SlowLiving sudah dipakai lebih dari 6 juta kali di Instagram. Di TikTok, Gen Z mempopulerkan istilah “lazy girl jobs” dan “quiet quitting” sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi kerja yang tidak masuk akal.
Intinya, hidup itu bukan cuma soal kerja dan produktivitas. Ada yang lebih penting, kesehatan mental, waktu untuk diri sendiri, dan relasi yang bermakna.
Literatur tentang pentingnya “tidak melakukan apa-apa” pun ikut meroket. Buku How to Do Nothing karya Jenny Odell jadi sensasi karena menyoroti bagaimana media sosial menguras perhatian kita. Four Thousand Weeks oleh Oliver Burkeman menekankan bahwa hidup terlalu singkat untuk dihabiskan mengejar to-do list tanpa henti. Sementara buku Niksen karya Olga Mecking memperkenalkan konsep asal Belanda tentang seni bermalas-malasan secara sadar, bukan malas karena tak punya tujuan, tapi karena kita sadar hidup butuh jeda.
Menariknya, tren ini hadir dalam banyak bentuk, dari buku filsafat yang membahas kapitalisme, hingga self-help pastel yang menyarankan mandi air hangat dan mewarnai pakai krayon. Perbedaan itu justru menegaskan satu hal bahwa kebutuhan untuk istirahat adalah sesuatu yang dirasakan semua orang, terlepas dari latar belakang mereka.
Dulu, kita harus membungkus “istirahat” dengan alasan produktivitas, kayak "kerja lebih sedikit supaya hasil lebih maksimal". Tapi sekarang, narasinya berubah. Waktu luang bukan lagi alat untuk bekerja lebih baik, melainkan hak dasar manusia untuk bisa merasa utuh, sehat, dan bahagia.
Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk “lebih cepat, lebih baik, lebih banyak”, memilih untuk melambat adalah aksi radikal. Dan seperti yang ditulis Katherine May dalam bukunya Wintering, “Istirahat itu bukan kemewahan. Tapi kebutuhan.”
Jadi, kalau akhir-akhir ini kamu merasa lelah tanpa alasan, sulit fokus, atau bahkan mulai mempertanyakan kenapa hidup rasanya cuma soal kerja dan kerja, mungkin sudah saatnya kamu ikut slow down. Karena kadang, langkah mundur adalah satu-satunya cara untuk bisa maju lagi girls!