Lifestyle
Fenomena Manusia Tikus Gen Z Tiongkok: Gaya Hidup Anti Kompetisi Sebagai Bentuk Protes Sosial yang Kian Viral di Media Sosial
JAKARTA, KUCANTIK.COM - Gaya hidup menyendiri dan nokturnal kini jadi pilihan sebagian anak muda Tiongkok. Mereka menyebut diri sebagai manusia tikus atau lao shu ren, tren baru yang berkembang cepat di kalangan Gen Z dan milenial.
Bukan sekadar lucu-lucuan, istilah ini menyiratkan perlawanan diam terhadap tekanan hidup, tuntutan kerja tanpa henti, dan standar sukses yang kian tak realistis.
Fenomena ini mencerminkan keinginan untuk menarik diri dari kompetisi ekstrem dan memilih hidup dengan ritme sendiri. Aktivitas malam hari, suasana sunyi, dan keterasingan bukan sekadar gaya, tapi ekspresi kelelahan kolektif.
Salah satunya dialami Pu Yiqin (23), mahasiswa magister asal China yang kini tinggal di Inggris. Lewat vlog harian di Xiaohongshu, Pu merekam kesehariannya yang lebih banyak dihabiskan dalam kamar gelap dan sunyi. Dia mengibaratkan gaya hidupnya seperti tikus yang nyaman dalam gelap, jauh dari sorotan dunia luar.
Tak hanya di China, tren ini juga merebak di kalangan pelajar China di luar negeri seperti Inggris dan Singapura. Salah satu unggahan viral bahkan mencetak lebih dari 400 ribu likes, memperlihatkan kuatnya resonansi fenomena ini.
Di balik tren ini tersembunyi keresahan nyata, dari tekanan akademik seperti ujian gaokao, pengangguran pemuda yang tembus 15,8 persen, hingga ketimpangan antara lulusan dan lapangan kerja.
Tahun ini saja, lebih dari 12 juta mahasiswa baru saja lulus, tapi pasar kerja belum siap menyerap semuanya.
Tren manusia tikus dianggap sebagai kelanjutan dari gerakan tang ping atau berbaring, yang menolak sistem dan ekspektasi masyarakat.
Jika tang ping adalah aksi diam, maka manusia tikus adalah simbol menyerah total dari perlombaan sosial yang dianggap tak lagi adil.
Menurut Yuan Yuan, dosen di Xi'an Jiaotong Liverpool University, mereka yang memilih menjadi manusia tikus adalah mereka yang memilih bertahan tanpa harus menang.
Mereka tetap hadir dalam masyarakat, tapi dengan cara yang berbeda, lebih diam, lebih sunyi, dan lebih jujur pada diri sendiri.
Humor gelap dan self deprecating pun menjadi bahasa sehari-hari. Bagi mereka, menyebut diri manusia tikus bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk refleksi terhadap kerasnya dunia. Mereka tetap berjuang, tapi tidak untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Fenomena ini menjadi semacam pelarian sekaligus ruang aman bagi generasi muda untuk mempertanyakan arti kesuksesan, kebahagiaan, dan eksistensi.
Di tengah krisis struktural dan sosial yang makin kompleks, manusia tikus hadir sebagai suara yang mungkin sunyi, namun tidak bisa diabaikan.