Mendesak! Sektor Manufaktur Butuh Peta Jalan

Selasa, 08 Jul 2025, 14:32 WIB

JAKARTA - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Daerah Istimewa Yogyakarta, Tim Apriyanto menilai target rasio kontribusi industri pengolahan nonmigas (manufaktur) domestik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 18,66 persen pada 2026 yang dicanangkan Kementerian Perindustrian cukup realistis.

Namun, katanya, ada yang lebih krusial dari sekadar target angka, yakni ketiadaan peta jalan konkret untuk menunjukkan arah bagaimana target itu akan dicapai secara strategis.

Ket. Foto: — Sumber: istimewa

“Hal yang jadi masalah adalah, dari target itu, kita belum melihat sektor mana yang jadi tulang punggung. Tanpa arah yang jelas, sulit berharap industri kita bisa tumbuh lebih cepat,” paparnya, Senin (7/7).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya mengatakan kementerian yang dipimpinnya menargetkan rasio kontribusi industri pengolahan nonmigas (manufaktur) domestik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 18,66 persen pada 2026.

Apriyanto menjelaskanangka tersebut secara teknokratis dapat dipahami, namun seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa sektor manufaktur belum mampu keluar dari tren penurunan kontribusi yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

“Kita masih menghadapi fase deindustrialisasi yang berkepanjangan. Artinya, belum ada loncatan besar dalam industrialisasi nasional.”

Menurut dia, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia pernah berada di posisi yang jauh lebih tinggi. Pada tahun 2010, kontribusinya mencapai 24,79 persen dan masih berada di kisaran 21 persen hingga 2014.

Namun sejak itu, katanya, angkanya terus menurun. Pada 2018 kontribusinya tinggal 19,86 persen dan pada kuartal I 2019 tercatat 20,07 persen. Pandemi kemudian mempercepat tren penurunan ini.

“Kita dulu bisa di atas 24 persen, dan sekarang mengejar 18 persen saja sudah dianggap cukup, itu menunjukkan adanya pelemahan struktural. Ini bukan hal baru, tapi belum juga berhasil kita balikkan arahnya,” jelasnya. 

Ia pun menekankan strategi industrialisasi tidak bisa lagi memakai pendekatan generik, melainkan harus disesuaikan dengan kekuatan riil Indonesia sebagai negara agraris dan maritim.

“Indonesia ini agraris dan maritim. Maka industri yang dibangun seharusnya bertumpu pada kekuatan pangan, hasil laut, pengolahan pertanian, serta industri berbasis bioekonomi. Bukan malah terpaku pada model industrialisasi berbasis impor bahan baku,” kata Tim.

Dia juga menyoroti sejumlah tantangan mendasar seperti biaya logistik yang tinggi, kebergantungan pada bahan baku impor, hingga lemahnya penguasaan teknologi industri di tingkat domestik.

“Kalau masalah struktural ini tidak diselesaikan, maka angka 18 persen bukan batas bawah, tapi bisa jadi plafon yang sulit ditembus,” katanya.

Demanufakturisasi

Sementara itu, Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan, memang sudah seharusnya kontribusi industri manufaktur non migas harus dinaikkan, karena Indonesia terlalu cepat terjadi demanufakturisasi, di tengah dominasi ekspor yang umumnya komoditi primer dengan nilai tambah kecil.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cepat struktur industri yang seharusnya pada level pendapatan per kapita menengah, sektor industri masih mendominasi. Namun ternyata industri jasa mampu memanfaatkan terutama dalam perdagangan, sehingga menyalip sektor manufaktur. Namun sayangnya sektor jasa tidak banyak menyerap tenaga kerja.

Oleh karena itu menurutnya perencanaan industri harus meningkatkan kontribusi industri manufaktur yang punya daya serap tenaga kerja tinggi. “Dengan demikian dapat menciptakan struktur ekonomi yang kuat,”ungkapnya.

Untuk meningkatkan kontribusi manufaktur, maka Pemerintah harus mempercepat hilirisasi.

Secara terpisah, peneliti Sustainability Learning Center (SLC) Hafidz Arfandi mendorong agar industrialisasi dan hilirisasi ditingkatkan lagi. Selain akan meningkatkan kontribusi sektor manufaktur, manfaat lain dari industrialisasi ialah memperkecil ketimpangan ekonomi, sebab salah satu faktor ketimpangan adalah fondasi ekonomi Indonesia masih dominan di sektor ekstraktif yang mengeruk kekayaan sumber daya alam (SDA).

Ekstraktifisme dikerjakan dengan padat modal, sehingga hanya segelintir pemilik modal besar yang dapat beroperasi di bisnis ini, misalnya pertambangan dan kehutanan (pemegang hph/hak pengusahaan hutan).

Ekstraktifisme sendiri merupakan ekonomi jangka pendek dengan rata-rata usia ekonominya hanya 20-30 tahun, lalu habis. Studi di Chile menunjukan kemerosotan kelas menengah, terjadi akibat ekonomi ekstraktif yang pada akhirnya dalam jangka panjang menumbuhkan ketimpangan ekstrem.

“Jadi untuk bisa mengatasi kemiskinan adalah menempatkan ekstraktifisme sebagai pilihan terakhir dalam pembangunan, fokuskan dulu potensi ekonomi yang dapat berdampak luas ke masyarakat secara berkelanjutan,” pungkasnya.

Redaktur: Diapari S

Penulis: Diapari S

PT. Berita Nusantara
© Copyright 2017 - 2025 Kucantik.Com ®
All rights reserved.